Bus Baru Kala Pilkada

Ada yang sedikit membuatku terkesima pagi ini. Sesuatu yang berbeda.

Ada Bus gandeng Transjakarta baru!

Ya. Ada armada baru Transajakarta. Bus-nya masih bersih, gantungan untuk tangan masih lengkap, LED informasi masih menyala, pokoknya gress. Bahkan aromanya pun masih aroma mobil baru. Gak enak di hidung.

Tapi.. Kalo ada Bus baru, apakah ini artinya penambahan? Atau penggantian?

Kebetulan Koridor yang saya lalui adalah koridor baru. Semestinya artinya adalah Bus tambahan. Dan jika demikian, berarti armada Transjakarta makin banyak donk. Mestinya sih begitu.

Tapi.. Kenapa Bus masih saja penuh sesak?

Dulu.. Sebelum-sebelumnya, saya pernah mencoba naik Bus jam 7 pagi. Masya Allah. Penuuuh.. Antrian masuk Halte  hingga ke jembatan penyebrangan. Orang saling dorong untuk berebut. Besoknya, saya coba naik jam 8 pagi. Ternyata masih penuh! Oke, kalau gitu saya coba naik jam 9 pagi. Wow! Masih penuh..

Saya belum menyerah dan mencoba lebih pagi. Saya naik jam 6.30. Lumayan. Lebih longgar, meski sebenarnya juga penuh. Tapi setidaknya tidak harus antri masuk Halte. Tapi ternyata tak bertahan lama. Beberapa hari kemudian, jam 6.30 pun penuh sesak.

Masih bersemangat, saya coba lebih pagi lagi. Jam 6.15. Hasilnya.. Agak longgar. Halte pun longgar. Tapi Bus yang lewat tetap penuh. Rata-rata, dapat di Bus yang ketiga.

Namun makin hari, Bus makin penuh.

Dan pagi tadi, saya terperangah karena menemukan ada Bus baru. Tapi anehnya, Bus masih penuh saja. Sepertinya, orang-orang, termasuk saya, masih kaget dengan penambahan Bus. Sehingga, ketika datang Bus, langsung saja berpadat-padat ria masuk ke dalam Bus yang sebenarnya sudah penuh.

Maklumlah. Kami takut untuk terlambat. Kami sudah terbiasa untuk berebut dan berdesak-desakan.  Padahal, bisa jadi, ada beberapa Bus baru di belakang kami yang mungkin saja kosong melompong.

Tapi dalam hati saya – dan mungkin semua penumpang Bus Transjakarta – berkata, kenapa penambahan Bus harus menunggu Pilkada?

Kereta Api, Tiket dan Goodbye Calo

Sebelumnya, sama sekali tidak terbesit di pikiran untuk naik kereta api dari Bandung ke Jakarta. Bahkan saya sudah lupa, kapan terakhir kalinya naik kereta api jurusan ini. Kenapa?

Saya benci dengan pelayanan Kereta Api!

Mulai dari penjualan tiket yang penuh dengan calo, jadwal kereta yang tidak jelas, pelayanan gerbong yang memprihatinkan dan masih banyak hal menyebalkan lainnya.

Akhirnya, kereta api benar-benar saya tinggalkan sejak tol Jakarta – Bandung diresmikan. Terlebih dengan menjamurnya travel, naik kereta api sama sekali tak ada di dalam pikiran saya.

Tapi Ahad yang lalu, akhirnya saya harus merasakan kembali goyangan kereta api.

Saya tidak memprediksikan, bahwa kursi semua jasa travel di hari itu benar-benar ludes! Bahkan, hingga esok paginya pun habis. Benar-benar di luar dugaan.

Saat itulah, pada akhirnya, kosakata kereta api melintas di pikiran. Tapi belum apa-apa, saya sudah memikirkan ribetnya mencari tiket, bahkan sulitnya sekedar mencari jadwal.

Ternyata saya salah..

Saya coba googling melalui HP, mencari website PT Kereta Api Indonesia. Dapat http://kereta-api.co.id. Dan ternyata, website sudah berubah! Di halaman HOME, ada alat pencari jadwal kereta dan tarifnya.

Dan memang seharusnya demikian. Tidak ada yang lebih penting dari sebuah website jasa transportasi selain Jadwal dan Tarif! Dan menempatkannya di posisi yang sentral adalah keputusan yang hebat.

Jadi, itu adalah kekagetan pertama saya. PT. Kereta Api Indonesia punya website yang informatif.

Oke, jadwal sudah dapat, harga sudah tahu. Lalu gimana saya harus beli tiket? Ini adalah poin menyebalkan dari menggunakan kereta api. Tapi saya salah!

Ternyata, dari informasi yang diberikan oleh website-nya, PT. KAI memiliki banyak pilihan cara untuk membeli tiket kereta api! Mulai dari via Telpon di nomor 121 atau 021121 (untuk HP), Agen Tiket, PT. Pos Indonesia, Indomaret, Alfamart dan lain-lain.

Itu adalah kekagetan saya yang kedua. Ternyata, beli tiket kereta api, tak lagi sulit dan menyulitkan.

Selanjutnya saya coba beli tiket melalui Telpon. Saya coba 021121. Dan BISA!

Kenapa saya kaget? Tentu saja! Jarang terjadi nomor seperti ini bisa dihubungi. Selalu saja ada masalah. Tapi kali ini sukses.

Saya diterima oleh seorang petugas. Menanyakan jadwal dan jurusan. Selanjutnya, petugas meminta nomor KTP dan memberikan nomor transaksi untuk diinputkan ke ATM. Wow!

Bayarnya lewat ATM?? Mungkin saya gak heran ketika saya beli tiket pesawat secara online, tapi ini.. Kereta Api??? Ini BUMN yang itu loh.. Yang.. Hmm sudahlah..

Selanjutnya saya bayar di ATM dan besoknya, struk ATM bisa saya tukarkan dengan tiket asli.

Sistem tiket kereta api, telah memunculkan kekagetan saya untuk ketiga kalinya. Dengan begini, maka calo tiket, good bye..

Esoknya, setelah mendapat tiket, mendapat tempat duduk, kereta melaju tepat waktu.

Saya coba lihat menggunakan GPS pada HP dan ternyata, kecepatan kereta itu rata-rata 60km per jam. Kecepatan tertinggi hanya 80km per jam.

Entah ya.. Tapi harus saya akui, perjalanan menggunakan kereta api sesungguh lebih menyenangkan. Pemandangannya benar-benar berbeda dibandingkan ketika mengendarai mobil. Saya benar-benar menikmati perjalanan dari Bandung ke Jakarta.

Tapi sungguh sayang..

Kereta dijadwalkan membutuhkan waktu 3 jam perjalanan. Ini aneh! Ini kereta loh. Punya jalur sendiri dan memiliki prioritas di jalur perlintasan dengan jalan raya. Tapi butuh waktu 3 jam dari Bandung ke Jakarta???

Dan sekali lagi sayang..

Jadwal tiba meleset 30 menit! Waktu sesungguhnya sampai di Gambir adalah 3 jam 30 menit! Seharusnya ini tak boleh terjadi. Kereta Jakarta – Bandung semestinya hanya butuh waktu maksimal 2 jam dan itu pun tepat waktu.

Tapi syukurlah.. Setidaknya PT. KAI sudah berbenah. Dan saya dukung, PT. KAI terus berbenah, berbenah dan berbenah..

Jakarta, Gedung Pencakar Langit dan Sebab Akibat

Menyempatkan diri menulis, ternyata bukan perkara mudah. Ada banyak penghalang, rintangan dan godaan. Dan godaan yang paling sulit dilawan adalah.. malas..

Nah, biar gak dibilang malas, maka malam ini, saya akan menulis. Bukan karena saya punya ide tulisan yang menarik, tapi karena saya tak ingin otak saya jadi beku. So, saya niatkan, apapun itu tulisannya, pokoknya nulis! Hidup nulis!

Hari ini, masuk dalam masa kampanye Pemilihan Gubernur Jakarta. Memang di media sangat heboh. Berita isinya tentang Foke, Jokowi, Alex dan bapak-bapak terhormat lainnya. Tapi buat saya, kaum pekerja, apalah bedanya. Toh pilihan telah ditentukan berdasarkan rasa klop di hati. Jadi, silahkan berbusa..

Saya belum tertarik buat nulis tentang Pemilukada Jakarta. Tapi saya pengen nulis tentang Jakarta.

Menurut saya, pembangunan Jakarta tidak mempertimbangkan hukum alam Sebab Akibat! Apa itu?

Gak usah pusing. Itu hanya hukum alam yang sangat rasional. Intinya, semua hal yang terjadi pasti ada sebabnya. Dan segala sesuatu, juga akan mengakibatkan sesuatu lainnya. Trus, apa hubungannya dengan pembangunan Jakarta?

Gini..

Pemimpin Jakarta, yang kebetulan saat ini Gubernurnya adalah Bang Foke, selalu menjadikan pertumbuhan gedung-gedung pencakar langit sebagai indikator kemajuan Jakarta. Saya sih tak akan menggugat itu, karena saya gak punya ilmunya.  Tapi saya pengen menggunakan logika saya yang sederhana untuk menelaahnya.

Saya mencoba mengira-ngira, berapa populasi orang yang bekerja di gedung-gedung pencakar langit itu. Katakanlah setiap lantai gedung, menampung hingga 500 orang. Dan rata-rata gedung-gedung tersebut memiliki jumlah lantai 10. Artinya, satu gedung kurang lebih 5000 orang. Selanjutnya, ada berapa gedung di Jakarta? Sehingga ada berapa orang totalnya? Ingat, isinya semuanya adalah orang!

Dan orang, butuh tempat tinggal.

Jadi..

Ketika Pemda mengizinkan pengusaha mendirikan bangunan pencakar langit, Pemda semestinya telah menghitung, akan ada berapa tambahan orang lagi di daerah itu. Selanjutnya, Pemda harus menyesuaikan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan orang tersebut. Apa itu?

Jika pemerintah bisa menyediakan tempat tinggal dengan harga terjangkau bagi orang-orang yang bekerja di tempat tersebut, itu bagus. Misalkan sejenis Flat dengan harga terjangkau. Dengan begini, orang-orang yang bekerja di daerah itu tak perlu hilir mudik setiap hari dari luar kota menuju tengah kota dan sebaliknya.

Namun jika tidak bisa, maka pemerintah harus menyediakan alat transportasi yang dapat mengangkut semua orang yang bekerja di daerah tersebut. Tentu saja adalah transportasi yang nyaman dan aman!

Jadi…

Kalo Pak Gubernur bangga kotanya memiliki banyak pencakar langit, tapi tak memikirkan tempat tinggal penghuninya, atau transportasi penghuninya, itu berarti Pak Gubernur belum belajar hukum alam sebab akibat!

Urutan logikanya sangat sederhana:

Ada gedung, ada orangnya.

Ada orang, perlu tempat tinggal.

Tempat tinggal jauh, butuh transportasi.

Sederhana banget kan?

Jadi..

Kalo pengen bangun gedung lagi, pikiran juga tempat tinggal atau transportasinya.

Nah, kalo gak pengen mikirin tempat tinggal dan atau transportasinya, ya jangan bangun gedung lagi.

Yah.. Begitulah..

Fussball

Saya harus bersyukur. Benar-benar bersyukur. Ternyata saya masih manusia biasa!

Buktinya, saya pernah berjanji buat ngeblog rutin, tapi ternyata setengah tahun absen! Benar-benar seperti manusia pada umumnya. Mudah berjanji, kebingungan pas mau menepati.

Selama hampir enam bulan, sudah banyak hal terjadi. Tentu saja. Tapi highlightnya adalah:

Saya menulis buku tutorial macro vba excel berjudul Kitab VBA Excel Level Satu. Dan karena ini level satu, mestinya ada level dua, tiga dan seterusnya. Insya Allah. Kemudian tulisan itu saya cetak sendiri, terbitin sendiri trus jual sendiri hahaha. Bukan karena rakus ya, tapi gak yakin ada penerbit yang mau.

Selain itu, ada sebuah tren baru di tempat kerja. Fussball.

Yang saya maksud adalah, permainan bola meja itu loh. Yang kita memainkannya dengan memutar dan menggeser boneka pemain-pemainnya yang menempel pada tongkat.

Dulu, saya cuma lihat di TV atau di Film. Dan berpikir, apa serunya coba?

Kita cuma bisa menggeser pemain ke kiri atau ke kanan. Kalau mau nendang bola, kita harus memutarnya.

Tapi ternyata..

Itu memang seru.

Mejanya memang di desain agar bola bisa bergerak ke tengah sehingga setiap boneka pemain akan bisa menendang bola tersebut. Gak cuma menendang, boneka pemain juga bisa menggiring dan kemudian membobolnya. Seru!

Bakal lebih seru, permainan bisa dilakukan berganda. Artinya, 2 pemain saling berlawanan. Masing-masing pemain harus memainkan dua tongkat. Dan hasilnya, kecepatan permainan meningkat! Pokoknya seru.

Ini nih penampakan meja permainannya..

Lihat kan.. Keliatannya aneh ya main bola pake tangan dan boneka. Tapi percayalah. Ternyata seru. Apalagi kalo menang terussss. Lebih seru tuh!

Rasa Jengkel

Hari ini, disela-sela batuk saya yang berumur 2 hari, ada yang membuat otak saya bekerja lebih intens dari biasanya meski saat itu sedang dalam perjalanan pulang. Tiba-tiba saja, saya menghitung berapa kali saya menggerutu, merasa jengkel dan sedikit marah dengan sesuatu disekitar saya. Terutama orang lain tentu saja.

Misalkan, ketika saya melangkah ditrotoar dan tiba-tiba saja ada orang yang berhenti sambil merokok menutupi jalan dan tidak peduli dengan orang yang lewat, sedangkan di sebelahnya ada pedagang kaki lima yang berjualan menutupi trotoar. Dan meski hanya sesaat, saya merasa jengkel dan langsung berfikir, “Orang ini gak mikir apa ya?”.

Dan setidaknya, ada 5 kejadian yang membuat jengkel hanya di sepanjang trotoar yang sama. Belum termasuk di jembatan penyebrangan dan apalagi di dalam Bus Transjakarta!

Setelah dihitung, ternyata lumayan sering saya merasa jengkel.

Mungkin akan ada orang yang ‘merasa bak pertapa’ menasehati saya, “Kamu harus menahan diri. Sabar dan ikhlaskan.”

Tapi tadi, hal itu sudah saya coba. Dan rasa jengkel itu tanpa bisa terkontrol keluar dengan sendirinya. Rasanya seperti orang batuk, berbunyi tanpa bisa kita kontrol.

Tapi setidaknya, saya patut bersyukur karena rasa jengkel itu hanya sebatas rasa di dalam hati. Tidak sampai meluap keluar. Misalkan saya maki-maki orang tersebut, atau bahkan saya tarik kerahnya, saya dekatkan ke muka dan ku maki dengan suara pelan layaknya jagoan-jagoan di film holiwud, “Kamu gak punya otak ya?”.

Ya! Untungnya tidak. Karena, kalau sampai hal di atas saya lakukan, bisa jadi jawabannya, “Wah, maaf mas. Udah habis, tadi baru aja diborong sama mbak-mbak gendut.”

Atau yang lebih parah, jawabannya sebuah bogem mentah.

Bagaimanapun, saya harus berusaha mengurangi perasaan jengkel itu muncul. Alangkah hebatnya jika saya bisa melihat segala sesuatu tanpa rasa jengkel. Bahkan, akan lebih hebat lagi jika bisa mengingatkan orang lain tanpa saya merasa jengkel dengan wajah dipenuhi senyum.

Hmmm…

 

Bagaimana si Lemot Belajar Optimizer

Sebelumnya, perlu saya ungkapkan sebuah fakta yaitu:

Saya terlalu bodoh untuk memahami sesuatu dengan cepat. Atau kata lainnya lemot.

Dan memang begitulah adanya. Untuk bisa melakukan sesuatu, saya membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan orang lain. Begitu pula untuk mengerti tentang sesuatu, saya membutuhkan waktu extra! Rupanya itu terjadi saat belajar sebuah tool yang disebut Optimizer.

Padahal, presenternya adalah orang terbaik dan pasti disampaikan dengan cara yang sangat baik. Tapi tetap saja otak saya seperti kemasukan begitu banyak puzzle tapi gak ngerti cara merangkainya. Dan sekali lagi, masalahnya bukan pada yang mangajari atau presenternya! Kenapa? Karena sepertinya hanya saya yang belum juga paham, sedangkan yang lain nampak manggut-manggut seperti sudah menguasai.

Tadi pagi, dengan kepala yang dipenuhi puzzle, saya datangi orang yang saya anggap bisa menjelaskan sesuatu dengan jelas pada orang lemot seperti saya. Dan Alhamdulillah, ada perkembangan yang baik. Akhirnya saya memahami “Konsep” dari Optimizer!

Saya tahu, yang saya pahami baru “Konsep”. Dan seandainya saya diberi tugas untuk menggunakan Optimizer, maka bisa dipastikan, saya hanya akan duduk bengong di depan laptop sambil meratap.

Tapi bagaimanapun.. Saya tetap senang bukan kepalang. Akhirnya, saya yang lemot bisa memahami Optimizer!

Oke, begini yang saya pahami tentang “Konsep” Optimizer:

1. Untuk apa Optimizer itu?

Optimizer adalah sebuah tool yang digunakan untuk menentukan frekuensi-frekuensi yang digunakan pada sebuah grup cell secara OTOMATIS atau Frequency Tuning Otomatis.

Ya, OTOMATIS atau bukan manual! Artinya, kita gak perlu lagi nyisir cell per cell untuk menentukan frekuensi.

2. Wow hebat! Tapi ngomong-ngomong, Optimizer gak main sulap kan? Atau gak main tebak-tebak buah manggis kan? Trus, perhitungan Optimizer berdasarkan apa?

Tepat sekali. Tidak ada sulap ataupun sihir. Optimizer menentukan frekuensi yang akan digunakan berdasarkan tabel Interference Matrix (IM). Dalam tabel ini berisi tingkat interferensi sebuah cell terhadap frekuensi disekelilingnya.

3. Ntar dulu.. Dapat dari mana tabel IM itu? Jangan-jangan cuma nebak-nebak doang?

Tentu tidak.. Tabel IM dihitung berdasarkan data measurement.
Jadi begini, sebenarnya, Network setiap saat selalu berkomunikasi dengan MS. Biasanya, Network akan nanyain bagaimana kabar si MS. Dan MS akan ngasih informasi detil tentang kondisinya. Misal, Frekuensi apa saja yang ia terima, tingkat RX Level-nya berapa, TA-nya berapa, dan masih banyak informasi-informasi lainnya! Pokoknya banyak deh.. (ini lagi ngeles, padahal masih belum tau).
Data measurement itulah yang dijadikan bahan perhitungan untuk menentukan IM.

Stop-stop! Bukankah semestinya sebuah cell harus punya measurement semua frekuensi?

Yup.. Setiap MS, pasti mengukur semua frekuensi yang menjadi adjacent dari cell yang men-serving MS. Dan dari situlah Network dapat informasi semua frekuensi.

Lhah! Bukannya adjacent maksimal cuma ampe 32? Itu juga akan kepotong buat DCS, buat 3G dan yang lain-lainnya. Jadi gak mungkin donk bisa dapat semua frekuensi?

Iya juga ya.. Tapi tenang.. Itu udah dipikirin sama yang buat Optimizer.
Jadi, dari 32 jatah adjacent sebuah cell, sebisa mungkin gak semua dipake. Sisa-in lah beberapa slot. Nah, sisa ini nanti bisa dipake untuk ngukur frekuensi sisanya.

Tapi, perasaan tetap gak cukup deh. Kan jumlah frekuensi yang mau ukur banyak..

Nah, berarti slot kosongnya dipake bergantian alias digilir. Misal, hari ini frekuensi 1,2 dan 3. Trus besoknya, 4,5 dan 6. Daaan seterusnya sampe semua frekuensi ke ukur.
Dan ternyata, itu juga udah dipikirin sama yang buat Optimizer. Makanya ada istilah BAL rotation. Tujuannya ya buat nge-gilir frekuensi tadi.

Berarti, kita gak bisa buat Tabel IM kalau semua frekuensi belum ke ukur donk?

Iya.. Kalau seandainya butuh 20 hari supaya semua frekuensi terukur, ya berarti harus nunggu sampe 20 hari, baru deh Tabel IM-nya bisa dibuat.
Tapi sebenarnya ya bisa aja dibuat kapanpun. Tapi, ya gak valid aja tuh Tabel IM.

Ada data measuerement lainnya yang diperluin gak?

Ada.. Misal traffic, SDCCH dan lainnya..

4. Oya.. Sebelum memulai hitung mundur proses pengukuran, ada yang perlu dilakuin dulu gak yah?

Ah, untung ditanyain. Sebaiknya, sebelum mulai mengukur, beberapa hal tentang network harus dipastiin valid.
Pertama, Adjacent-nya valid. Gak ada adjacent yang hilang, atau cuma satu arah, atau malah kebanyakan. Dan untuk masalah ini, perlu dilakuin Adjacency Optimization. Ah, iya.. Adjancency Optimization ini juga bisa digunain untuk membuat slot adjacent optimal sehingga akan ada slot kosong yang bisa dipakai untuk mengukur frekuensi yang banyak itu.
Kedua, BSIC-nya harus valid. Kenapa ini penting?
Karena, saat Network sama MS tadi ngobrol, mereka gak pernah menyebutkan nama/nomor ID dari cell pemilik frekuensi. Mereka hanya menyebut frekuensi dan kode BSIC-nya. Jadi, bisa dibayangin kan? Gimana kalau ada BSIC yang gak valid. Wah, measurementnya bisa ngaco ntar..

5. Wah, masih ada yang kurang neh! Gimana Optimizer tahu cell A ada dimana dan Cell B ada dimana? Harus ada datanya neh..

Nah.. Ini juga baru mau disampaikan.
Jadi.. Setiap aktifitas di atas, semua membutuhkan data site dan antenna. Misal, longitude dan latitude, azimuth, dan muasih banyak data lainnya. Dan, sebaiknya data itu harus VALID.

Dan.. begitulah Konsep Optimizer sesuai apa yang bisa dicerna oleh otak saya yang lambat..

Kalo ada yang salah, tolong dikoreksi yah.. Maklumlah.. Lemot..

Udah ah.. gitu dulu.. ngantuk..

Sepak Bola Dan Kedewasaan

Jam tangan menunjukkan pukul 9.15 malam saat kaki saya menginjak lantai Bus Transjakarta (Busway). Kosong, hmm maksud saya, antar penumpang masih ada jarak lumayan lebar. Saya katakan “kosong”, karena kata “penuh”, itu artinya sekujur tubuh sudah bersentuhan dengan penumpang-penumpang lain.

Namun bukan tentang “kosong” atau “penuh” yang menarik perhatian, melainkan serombongan penumpang yang terdiri dari seorang bapak dan 3 anak-anaknya yang masih ABG. Dan, tentu bukan pula hubungan kekeluargaan mereka yang menarik perhatian saya.

Sesuatu yang menarik perhatian saya itu berawal dari alasan saya pulang lumayan larut malam, yaitu nonton sepak bola Indonesia melawan Malaysia. Bukan nonton di stadion, tapi sekedar nonton bareng.

Sayangnya, Indonesia takluk 0-1 dari Malaysia.

Nah, disinilah yang menjadikan kejadian di Bus Transjakarta menarik perhatian saya.

Rombongan yang terdiri dari seorang bapak dan 3 anak ABG di Bus Transjakarta, mudah sekali ditebak, baru saja menyaksikan sepak bola Sea Games Indonesia vs Malaysia secara langsung di stadion GBK. Nampak jelas dari kaos warna merah yang dikenakan juga asesoris sepak bola yang dibawa.

Dan yang menarik, meski Indonesia menelan kekalahan, namun tidak ada kerut kekecewaan di wajah mereka. Apa mungkin mereka tidak peduli? Tentu bukan itu alasannya. Hadir di stadion meski harus menggunakan transportasi umum saja sudah cukup membuktikan kepedulian mereka pada sepak bola Indonesia.

Yang lebih menarik lagi, ketika salah satu penumpang menanyakan hasil pertandingan ke mereka. Si anak ABG yang mungkin masih kelas 2 atau 3 SMP menjawab dengan lantang tanpa amarah, “1-0 menang Malaysia!”.

Bahkan, dia mengatakan “menang Malaysia”, bukan “Indonesia kalah”!

Memang penting pilihan kata yang dipakai?

Tentu saja! Ketika anak ABG itu mengatakan “menang Malaysia” maka dia dengan jantan mengakui bahwa Malaysia menang dan sekaligus tidak mengatakan Indonesia lemah.

Namun jika kita menjawab, “Indonesia kalah!”, maka itu menunjukkan kekecewaan mendalam, rasa rendah diri dan tingkat kepercayaan diri yang lemah.

Tak sekedar menjawab, “menang Malaysia”, nada yang digunakan pun nada biasa saja. Tidak ada kekecewaan, rasa jengkel dan frustasi, hinaan dan cacian apalagi dengki. Biasa saja. Seolah si ABG baru saja menyaksikan sebuah pertunjukan menarik atau film bioskop. Biasa saja..

Bahkan si ABG melanjutkan jawabannya dengan jadwal pertandingan dan lawan Indonesia berikutnya masih dengan nada biasa saja. Bahkan nadanya cenderung bersemangat.

Dan disitulah letak menariknya percakapan di Bus Transjakarta.

Menurut saya, begitulah semestinya sikap semua penonton sepak bola baik yang menyaksikan langsung maupun melalui televisi.

Menang dan kalah adalah hal yang lumrah dalam permainan. Jika menang, kita senang, jika kalah, ya sudah. Tetap semangat. Gak perlu ribut-ribut, gak perlu adu mulut apalagi sampai berkelahi. Terlebih lagi sampai merusak fasilitas umum, itu sungguh konyol!

Ya.. Malam ini, saya mendapat pelajaran berharga tentang bagaimana menjadi dewasa dari seorang anak ABG yang mungkin masih dalam tahap ALAY..

 

 

Busway dan Orang Beradab

Sudah dua bulan lebih, mobil sering nongkrong ketimbang hilir mudik di jalanan. Karena saya, sebagai pemakainya kini lebih memilih untuk menggunakan kendaraan umum, ketimbang kaki pegel nginjak kopling. Kenapa sering nginjak kopling? Karena pertama mobilnya pake transmisi manual dan kedua jalanannya muaaacet.

Tapi sebenarnya, bukan itu alasan saya beralih ke kendaraan umum!

Alasan sesungguhnya dan kedengarannya idealis memang, adalah:

Pertama,meski jauh dari sempurna, tapi pemda DKI sudah memulai untuk menyediakan kendaraan umum yang beradab yaitu Busway.

Kedua, karena saya ingin menjadi orang yang beradab!

Nah, yang kedua saya beri tulisan tebal karena inilah alasan utamanya. Lalu, apa hubungannya kendaraan umum dengan orang beradab? Dan apakah menggunakan kendaraan pribadi tidak beradap? Bukannya “keren-an” pakai kendaraan pribadi?

Oke, begini..

Karena saya tak punya kamus besar bahasa indonesia, maka kita coba menggunakan kamus Oxford. Berarti, kita harus terjemahkan kata beradab ke dalam bahasa inggris yang artinya: civilized.

Kata civilized, menurut Oxford artinya : Well organized socially with a developed culture and way of life. Artikel lebih jelas tentang civilization bisa dilihat di Wikipedia  (http://en.wikipedia.org/wiki/Civilization).

Jadi kurang lebih, beradab adalah sesuatu yang teratur secara sosial dalam sebuah budaya dan cara hidup yang maju.

Kata kuncinya adalah socially atau society (sosial dan kumpulan) dan organized (keteraturan).

Jadi, menjadi orang yang beradab, syarat pertamanya adalah sosial.

Oke, sekarang kembali ke Kendaraan Umum yang contohnya adalah Busway dan Kereta Listrik. Tapi Kopaja dan Metromini tidak saya masukkan. Karena saya sedang membahas sesuatu yang beradab!

Ketika kita menggunakan kendaraan umum, maka kita berada dalam kumpulan, atau society. Kita bertatap muka, bisa saling bertegur sapa, yang inti-nya kita saling berbagi. Jadi, dengan menggunakan kendaraan umum, ternyata kita telah memiliki syarat pertama menjadi orang beradab yaitu society.

Bandingkan bila kita menggunakan kendaraan pribadi. Mobil berukuran lebih dari 3m persegi itu hanya dipakai oleh 1 orang! Betapa egois dan indivualistis-nya! Tentu saja ini jauh dari syarat pertama tentang beradab.

Dan selanjutnya, agar menjadi beradab, kita harus taat peraturan. Salah satunya, menghormati hak orang lain.

Jadi……

Dengan naik Busway, saya sedang berusaha menjadi orang yang beradab. Gimana dengan anda?

Busway dan Para Wanita

Ah, saya sudah gemes pengen nulis ini.

Kalau kejadiannya sudah terjadi 3 kali, berturut-turut pula, maka saya simpulkan, memang begitulah keadaan sesungguhnya. Ngomongin apa sih?

Begini ceritanya.

Episode 1:

Kemarin pagi, saya sedang di halte Busway arah ragunan. Di pagi hari, Busway arah ragunan relatif lebih sepi. Bahkan, banyak Bus yang kosong. Ini kosong beneran, bukan kosong omongannya kondektur Mayasari.

Saya menunggu di urutan paling depan di pintu keberangkatan (maksud saya, pintu menuju Bus). Tentu saja saya paling depan, karena tidak ada penumpang lain di pintu itu.

Saat sebuah Bus datang, berhenti dan pintu terbuka, saya menunggu hingga penumpang yang mau turun keluar duluan. Tapi entah muncul dari mana, tiba-tiba seorang Ibu gemuk berseragam pegawai negeri dan berjilbab, persis tronton yang rem-nya blong, merangsak masuk ke dalam Bus meski penumpang yang mau turun belum juga kelar keluar dari Bus.

Saya yang berada di depan pintu pun sempat limbung karena dorongannya.

Perlu saya tekankan, Bus-nya sepi, Halte sepi jadi hampir gak ada alasan untuk rebutan. Kenapa Ibu itu begitu bernafsu-nya masuk ke dalam Bus seolah itu adalah Bus terakhir di alam dunia ini?

Episode 2:

Di Halte yang sama, dan arah yang sama tapi di waktu yang berbeda. Kali ini, sore harinya.

Halte sangat penuh dan sesak!

Bus yang datang pun tak ada bedanya. Penuh dan sesak!

So, bisa dipastikan, antrian berjubel. Hmm, mungkin bukan antrian karena ini lebih mirip ayam yang berebut jagung yang gurih! Dan mau tak mau saya menjadi salah satu ayam yang kelaparan itu.

Pada saat sebuah Bus menepi, tanpa menunggu penumpang yang mau turun keluar, penumpang yang mau naik merangsak naik.

Bodoh bukan? Bus sudah penuh sesak, masih saja calon penumpang merangsak naik tanpa sabar menunggu ada penumpang yang turun.

Yang lebih bodoh, ada saja orang-orang yang mendorong dari belakang. Dan saat saya coba cari tahu biang dorongannya, ternyata, sekali lagi Ibu-ibu!

Episode 3:

Terjadi pagi tadi..

Halte cikoko-cawang. Karena Halte ini intersection dengan Stasiun Kereta Cawang, maka penumpang selalu penuh sesak. Tapi, kadang kala ada Bus yang sengaja dikosongkan untuk Halte spesial ini, mereka menyebutnya “Bus Tembakan”.

Dan Bus yang datang saat itu adalah Bus Tembakan, artinya, Bus itu kosong.

Seperti yang lainnya, saya pun ada dibarisan “antrian” untuk masuk. Tapi tiba-tiba, seperti peluru yang melesat terburu-buru, seorang mbak-mbak ramping berambut panjang, entah dari mana, merengsek masuk tak mau ngantri.

Memang penumpang yang antri banyak, tapi Bus dalam kondisi kosong. Jadi, rasanya gak perlu deh buru-buru kayak dikejar Sule.

Dan…

Brudak-brudak!

Dia terpeleset dan hampir saja jatuh di celah antara Halte dan Bus. Beruntung, tangannya berpegangan dengan tangan Ibu-ibu yang tadi dia serobot. Alhasil, dia bergantung kayang mirip trio macan manggung. Dan lebih beruntung lagi, Ibu itu sangat kuat dan gak dendam dengan melepas tangannya.

Dan ketika dia bisa berdiri lagi, wanita itu cuma cengar-cengir, cengengesan seolah yang barusan dia lakukan adalah hal yang biasa.

Aneh!

Maksudku, sudah sedemikian anehnya kah mental orang-orang kita?

Awalnya, aku pikir hanya laki-laki yang rusuh ketika berebut naik transportasi umum. Tapi ternyata saya salah. Bahkan para wanita yang menurut bayanganku penuh kelembutan dan sopan santun, ternyata tak kalah rusuhnya.

Chk chk chk..

 

Oleh-oleh dan budaya kita

Kemanapun kita hendak berpergian, pesan-pesan yang paling populer di budaya kita adalah:

“Hati-hati di jalan.”

dan

“Jangan lupa oleh-olehnya ya.”

Ya! “Jangan lupa oleh-olehnya ya.” adalah pesan yang sangat populer di budaya kita. Dan mungkin, cuma kita yang memesan oleh-oleh kepada seseorang yang hendak berpergian. Hmm, gak tahu juga sih, aku belum pernah tinggal di negeri orang.

Tapi, yang unik dari budaya kita, oleh-oleh yang kita maksud, hampir pasti kita artikan sebagai sejenis makanan!

Budaya asing, seperti budaya barat juga mengenal istilah oleh-oleh yang saya coba artikan dengan kata souvernir. Setidaknya, kata kamus Oxford, pengertian souvenir mirip-mirip dengan pengertian oleh-oleh.

Souvenir : a thing that you buy and/or keep to remain yourself of a place, an occasion or a holiday/vacation; something that you bring back for other people when you have been on holiday/vacation.

Nah, kata kunci-nya adalah bring back for other people, ini menunjukkan souvenir bisa kita pakai sebagai terjemahan dari oleh-oleh dan remain yourself of a place, menunjukkan perbedaannya dengan budaya kita.

Jadi, di budaya barat, oleh-oleh adalah sebuah memorabilia atau sebagai pengingat atau kenang-kenangan. Coba cek di wikipedia berikut: http://en.wikipedia.org/wiki/Souvenir

Disinilah letak perbedaannya dengan budaya kita. Oleh-oleh, lebih sering kita artikan sebagai sejenis makanan, yang artinya, gak mungkin menjadi sebuah kenang-kenangan. Bagaimana kita bisa mengenang sesuatu yang telah kita makan? Dan gak mungkin juga kita memajang makanan di lemari kita, misal bolu kukus, sebagai kenang-kenangan.

Yang hebat, ketika kita coba terjemahkan oleh-oleh ke dalam bahasa Inggris, maka yang muncul cuma dua kata; Souvenir dan Gift. Cobalah terjemahkan Souvenir ke bahasa Indonesia. Biar gampang, coba pakai google translate.

Setidaknya, bisa ku carikan padanannya dengan; oleh-oleh, tanda-mata, cinderamata, kenang-kenangan, buah-tangan, atau mungkin pembaca bisa menambahkannya.

Apa yang aneh?

Begini, bila suatu budaya (bangsa) memiliki ikatan yang erat dengan suatu benda, kegiatan ataupun keadaan, maka budaya (bangsa) tersebut akan cenderung memiliki kosa-kata yang detil tentang benda, kegiatan ataupun keadaan tersebut.

Kita ambil contoh Padi!

Karena budaya kita sangat dekat dan erat dengan Padi, maka hampir disetiap fase perubahan Padi memiliki nama yang unik. Mulai dari Padi, kemudian menjadi Gabah hanya karena telah dipetik, kemudian menjadi Beras hanya karena telah dikupas, kemudian menjadi Nasi hanya karena telah di masak.

Padahal bahasa Inggris-nya cuma Rice, untuk semua kata di atas.

Satu contoh menarik lagi, penamaan binatang. Orang jawa (atau mungkin budaya di Indonesia lainnya) sangat akrab dengan binatang ternak/piaraan (atau mungkin hampir semua binatang). Oleh karenanya, mereka akan memiliki nama yang berbeda untuk binatang yang masih kecil dengan binatang dewasa. Ternyata, bahasa Inggris juga sama! Misal: Sapi dan anaknya Pedet,dalam bahasa Inggris Cow dan CalfWedus (Kambing) dan anaknya Cempe, dalam bahasa Inggris Goat dan Goatling.

Tapi yang menarik bahasa Jawa mengenal Gajah dan anaknya Bleduk sedangkan bahasa Inggris hanya mengenal Elephant dan baby Elephant. Tapi, bahasa Jawa tak menamai anak kucing, sedangkan bahasa Inggris mengenal Cat dan anaknya Kitten.

Jadi, bila suatu budaya (bangsa) memiliki ikatan yang erat dengan suatu benda, kegiatan ataupun keadaan, maka budaya (bangsa) tersebut akan cenderung memiliki kosa-kata yang detil tentang benda, kegiatan, ataupun keadaan tersebut.

Kembali tentang oleh-oleh!

Jika oleh-oleh di Indonesia dikenal dengan begitu banyak nama, artinya oleh-oleh adalah sesuatu yang penting dan erat bagi budaya kita. Seberapa pentingnya kah?

Mungkin, sekali lagi ini cuma mungkin karena saya bukan pakar oleh-oleh, dari sudut pandang orang yang bepergian, membawa oleh-oleh berupa makanan, sesungguhnya orang tersebut ingin supaya orang-orang yang ditinggalkan dapat ikut merasakan apa yang telah ia rasakan selama bepergian dalam arti kesenangan dan kebahagiaan.

Dan dari sudut pandang yang ditinggalkan, mendapat dan merasakan oleh-oleh dari orang yang bepergian, adalah suatu kehormatan tertinggi yang berarti orang yang bepergian telah mengingatnya. Dan jika kita diingat oleh seseorang, artinya kita masuk dalam orang-orang yang disayangi. Dan semua pasti ingin disayang.

Jadi disanalah letak perbedaan budaya oleh-oleh kita dibandingkan budaya asing.

Souvenir adalah ingatan tentang tempat yang dikunjungi. Sedangkan oleh-oleh adalah sebuah kenangan tentang orang pergi dan yang ditinggal.

Jadi, budaya kita memaknai oleh-oleh jauh lebih dalam dibandingkan budaya asing memaknai souvenir. Dan saya bangga menjadi bagian dari budaya oleh-oleh itu. Bagaimana dengan pembaca?

Ah iya.. Saya bahas oleh-oleh karena oleh-oleh yang kubawa nyasar ke rumah Abangku padahal dia masih ingin melanjutkan cuti. Jadi, tahukan rasanya jika kita sudah nongol tapi oleh-olehnya belum juga nongol…?