Percayakah anda pada seseorang, jika suatu ketika seseorang itu melakukan kesalahan terhadap anda dan dia meminta maaf kemudian berkata, saya tidak bermaksud melakukannya?
Dulu, ketika saya masih SMP kelas 1, sahabat saya, teman se-bangku saya, melakukan kesalahan yang membuat saya murka. Apa yang membuat murka, saya pun tak mengerti. Kesalahannya sesungguhnya sangat sepele jika saya pikir menggunakan logika saya saat ini. Dia “hanya” mengambil LKS dari tas saya kemudian mencontoh semua jawaban yang ada di sana.
Saat itu, meski dia adalah teman se-bangku dan sahabat, namun dia juga adalah pesaing. Menurut saya saat itu, tindakannya adalah sebuah kesalahan besar dan saya pun murka. Entah berapa kali dia meminta maaf, namun saya tolak. Bahkan ketika wali kelas memaksa kami saling memaafkan, saya hanya menerima jabat tangan namun hati kecil masih tak juga memaafkan.
Waktu berlalu, dan di kelas 2 teman saya telah lupa kejadian itu, namun saya tak bisa melupakannya. Saya tak bisa lupa bukan karena saya masih dendam, tapi karena saya menyesal. Kenapa saya tak bisa memaafkan-nya saat itu?
Kesalahan saya ketika murka saat itu adalah, tak pernah mencoba berfikir dari sudut pandang sahabat saya. Mungkin saat itu, dia berfikir saya adalah sahabatnya sehingga mengambil sesuatu dari tas adalah hal biasa. Karena sahabat saling berbagi saling percaya. Dan ketika saya marah, mungkin dia tak menyangka saya akan marah sebesar itu. Bahkan tak mau memaafkan, meski ribuan permintaan maaf dan penyesalan diucapkannya. Dan mungkin dia berkata dalam hati, “Saya mengira, kita sahabat. Ternyata selama ini, kamu tak menganggap-ku demikian.”
Sejak saat itu, saya tak lagi berani untuk murka pada seseorang terlebih pada orang terdekat. Ketika terlanjur marah dan emosi, beberapa saat kemudian, saya akan sibuk untuk meminta maaf, diluar siapapun yang memulainya. Dan saya tak akan bisa berhenti memikirkan-nya sampai akhirnya dimaafkan.
Tapi bagaimana jika kesalahan itu dilakukan oleh saya?
Itulah yang terjadi hari ini dan beberapa pekan yang lalu, juga beberapa bulan yang lalu.
Saya merasakan bagaimana menjadi orang yang harus berkata, “Maafkan saya, saya tak bermaksud melakukannya.”
Siang ini, saya memesan makanan menggunakan GO-FOOD. Butuh waktu lama hingga hampir setengah jam untuk mendapatkan driver yang bersedia. Beliau menelpon dan meminta waktu agak lama untuk menuju tempat makan karena kondisi hujan. Dan saya setuju.
Setengah jam berlalu, namun tidak ada pergerakan sedangkan perut dan kepala sudah terasa sakit. Berkali-kali saya lihat HP namun tidak ada progress dan akhirnya, saya cancel dengan alasan terlalu lama menunggu. Namun tak lama, HP saya berdering.
Driver GO-JEK menelpon saya dan kecewa karena saya meng-cancel. Katanya, dia sudah basah susah payah dan hujan-hujanan menuju tempat makan tapi tiba-tiba di-cancel sepihak. Dia pun marah. Saya berusaha minta maaf dan bertanya, adakah yang bisa dilakukan untuk mengembalikan kembali order. Namun Driver tersebut sudah terlanjur kecewa dan marah besar. Dia meluapkan kemarahannya.
Saat itu, saya dalam posisi yang salah. Seharusnya saya menelponnya lebih dulu atau sms lebih dulu sebelum meng-cancel pesanan. Dan saya berusaha meminta maaf menanyakan apa yang bisa saya lakukan. Namun ternyata, sang Driver sangat kecewa berat. Dia tak menuntut apapun, tapi juga tak menerima maaf. Dia terus meluapkan kemarahannya.
Cukup lama dia meluapkan kemarahan dan menutup telpon.
Saya tidak bisa menunjukkan apapun yang bisa membuktikan bahwa saya menyesal dan tak bermaksud melakukannya. Saya coba hubungi Call Center GO-JEK, namun pihak GO-JEK pun tak bisa melakukan apapun karena pesanan saya belum dibeli. Saya hanya bisa meminta maaf. Dan sayangnya, tak semudah itu untuk mendapatkan maaf.
Dan sampai saya menulis ini, saya masih merasa bersalah.
Kejadian ini, mengingatkan saya akan kesalahan saya beberapa bulan sebelumnya. Kesalahan yang lebih besar. Kesalahan yang tak akan mudah dimaafkan hanya dengan berkata, “Maaf, saya tidak bermaksud melakukannya.”