Pilgub, Warga Jakarta Yang Berani Dan Harapan

Jika seandainya, ada 3 jalan di hadapan kita.

Jalan yang pertama, adalah jalan yang barusan kita lalui dan kita tahu bersama ternyata banyak lubang menganga, berdebu dan tidak teratur. Dulu, ada yang bilang jalan itu bakal bagus. Pokoknya bakal nyaman untuk dilewati. Tapi ternyata.. Ah..

Jalan yang kedua, kita belum pernah melaluinya. Konon katanya bagus. Tapi karena kita belum melewatinya, maka belum bisa dibuktikan apakah benar-benar bagus atau malah lebih jelek dari jalan pertama.

Dan jalan yang ketiga, sama dengan jalan yang kedua. Ada yang bilang bagus, ada juga yang meragukan. Yang pasti, kita belum pernah melewatinya.

Pertanyaannya, jalan mana yang akan anda pilih?

Pada umumnya, orang (terutama orang Indonesia) akan memilih jalan pertama. Meskipun kita sudah membuktikan jalannya rusak, tapi setidaknya kita sudah tahu kerusakannya seperti apa. Sehingga kita sudah hapal, lubang ada di mana saja. Jadi gak ada masalah kan. Dari pada pilih jalan kedua dan ketiga eh ternyata ujungnya adalah jurang?!

Bagaimana dengan saya?

Saya akan pilih jalan kedua atau ketiga. Yang jelas bukan jalan yang pertama. Kenapa?

Karena, jalan pertama jelas tak ada harapan dan yang lebih penting, saya sudah membuktikan bahwa yang pernah dikatakan tentang jalan pertama sebelumnya adalah dusta.. Dusta? Kayak lagunya Broeri Marantika..

Sedangkan jalan kedua atau ketiga, biarpun perbandingan 50 : 50, tapi setidaknya ada harapan di sana..

Pengandaian tadi, mirip dengan kondisi Pilgub Jakarta tahun ini yang pencoblosannya dilakukan siang tadi.

Awalnya, saya pesimis.

Berdasarkan kebiasaan di berbagai pemilihan di seluruh indonesia, biasanya warga akan memilih calon incumbent atau calon yang sebelumnya sudah memimpin. Alasannya, seperti orang yang memilih jalan pertama pada pengandaian saya di atas. Karena itulah, sebelumnya saya yakin, uncumbent pasti menang biarpun saya dibolehkan nyoblos 10 kali. Saya yakin warga Jakarta tak akan berani ambil resiko!

Tapi ternyata saya terlalu menganggap remeh warga Jakarta. Saya salah..

Warga Jakarta tenyata warga yang berani. Berani untuk mengambil resiko. Berani untuk mendapatkan dua kemungkinan. Menjadi lebih baik atau malah lebih buruk. Jika ini adalah tentang bisnis, maka warga Jakarta sudah memiliki satu kriteria pebisnis sejati. Berani.

Dan saya pun bertanya dalam hati.. Apa yang membuat warga Jakarta berubah menjadi pemberani?

Saya mencoba mengira-ngira jawabannya..

Harapan..

Ya.. Warga Jakarta masih yakin bahwa, ada harapan dibalik perubahan. Meski harapan itu bisa hilang lenyap dalam sekejap, namun setidaknya, pernah ada harapan meski hanya sesaat.

Selamat untuk warga Jakarta yang berani.. Berani untuk berubah..